MUHASABAH
JANJI
“Tepatilah janji, sesungguhnya janji itu
pasti dimintai pertanggungjawaban.”(Al-Isra: 34)
Janji adalah
ucapan yang paling murah untuk kita obral dan kita tawarkan kepada siapa saja,
tetapi seringkali paling berat kita tunaikan. Siapapun bisa mengucapkan janji,
sebesar apapun yang bisa di ucapkan lidahnya. Maklum lidah tidak bertulang,
sehingga apapun kita bisa janjikan kepada orang lain, tidak terkecuali gunung
emas.
Janji biasanya
kita obral kepada mereka yang sudah kita kenal. Seorang ayah bisa menjanjikan
sebuah hadiah kepada anaknya jika si anak naik kelas. Seorang atasan atau
pengusaha biasanya menjanjikan bonus kepada karyawannya jika prestasi si
karyawan bertambah baik atau jika keuntungan yang di dapat dari usahanya terus
meningkat. Seorang suami mungkin bisa menjanjikan seuntai perhiasan kepada
istrinya jika suami naik jabatan.
Janji juga
bisa kita obral kepada orang-orang yang tidak kita kenal samasekali. Justru kampanye
partai yang sebentar lagi akan meramaikan pentas politik tanah air, sudah
terbiasa mengobral janji-janji muluk kepada masanya, meskipun mereka tidak
mengenal seorang pun massa yang da janjikannya itu. Pemimpin-pemimpin partai,
pemimpin lembaga legislatif dan calon-calon presiden pastilah akan memberikan
janji terbaik yang bisa mereka tawarkan kepada orang-orang yang di harapkan mau
memilihnya, meskipun mereka tidak mengenal secara langsung orang-orang yang di
janjikannya itu.
Menapa manusia
begitu mudah mengobral janji? Jawabannya bukan sekedar karena lidah tidak
bertulang. Janji begitu mudah kta tawarkan karena ia biasanya di dasari oleh
pamrih. Artinya,ketika kita menjanjikan sesuatu kepada orang lain, pada
dasarnya kita juga menuntut sesuatu pada orang itu. Bahkan mungkin tuntutan
kita jauh lebih besar dan lebih penting dari janji yang kita ucapkan.
Seorang bapak
yang menjanjikan hadiah kepada anaknya, menuntut sang anak belajar lebih giat
lagi agar nilai-nilai sekolah nya bertambah baik, sehingga si anak bisa di
bangga-banggakan di depan para tetangganya. Dalam kasus ini tentu tidak ada
salahnya si bapak memberikan stimulan agar anaknya giat belajar, tetapi kita
juga tidak bisa memungkiri bahwa si bapak sendiri bisa jadi memiliki pamrih
lain, yaitu agar anaknya membuatnya bangga di hadapan para tetangga,
saudara-saudaranya atau temannya.
Begitu pula jika seorang atasan
menjanjikan bonus atau hadiah kepada bawahannya, pada dasarnya dia menuntut
kerja yang lebih dari bawahannya itu, sehingga kerja yang lebih itu bisa
mendatangkan keuntungan yang lebih berlipat lagi bagi dirinya sendiori. Pada akhirnya,
pamrih dari janji akan kembali kepada orang yang akan menjanjikannya.
Tapi salahkah
orang berjanji? Tentu tidak! Janji adalah sesuatu yang boleh dan normal untuk
dilakukan oles siapapun. Janji bukanlah tindakan criminal dan bukan pula bagian
dari larangan tuhan. Janji baru menjadi masalah jika kita tidak mau atau enggan
memenuhinya.
Jika kita menjanjikan sesuatu
kepada seseorang dengan syarat-syarat tertentu, dan ketika syarat-syarat tertentu
itu sudah terpenuhi, maka kita berkewajiban menunaikannya, tanpa harus
mengurangnya sedikitpun. Masalahnya, kita sering sekali mencari-cari alasan
yang kita buat-buat sendiri karena kita tidak mau memenuhi janji kita.
Padahal hati
kecil kita mengakui, bahwa semestinya kita sudah memenuhi janji kita. Orang yang
kita janjikan mungkin kita bisa bohongi dengan berbagai alasan yang kita
buat-buat . tetapi, Allah swt. Tidak bisa kita bohongi. Dia Maha Tau dengan
janji-janji kita , dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas
janji-janji yang pernah kita obral dengan murahnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 opmerkings: